Featured Post 2

Marhaban. Selamat datang di forum anak-anak Selayar di perantauan. Forum Muslim Ilmiah Selayar (FORMIS)

ULANG TAHUN ATAU MILAD?

Hari ini, Senin, 22 Jumadil Akhi 1433 saya menerima pesan singkat dari seorang teman. Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindunginya. Sebuah ucapan selamat ulang tahun. “Selamat milad,” katanya. Seperti teman-teman, saya tentu tersanjung. Ternyata teman yang hampir 3 tahun tidak bertemu masih ingat tanggal lahirku. Dia juga masih ingat untuk mengirim ucapan selamat. Setahuku, sampai saat ini, ia baru dua kali mengirim ucapan selamat ulang tahun. Satu diantaranya ia katakan ‘selamat milad’.
 
Milad memang sering digunakan beberapa
teman kami yang sudah kajian. Jika sebelumnya mereka mengucapkan ‘selamat ulang tahun’, kini setelah mengenal Islam menjadi ‘selamat milad’. Islamisasi katanya. Cemerlang. Namun bagaimakah pandangan Islam terhadap ulang tahun?

Ulang tahun, milad, atau apapun istilahnya, dalam kacamata dapat dilihat dengan dua cara.

Pertama, Milad sebagai ibadah. Sebagai ibadah, banyak orang mengundang ustadz tertentu untuk memberi tausyiah. Ia mengadakan syukuran dengan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim. Biasanya ia juga berjanji pada dirinya untuk tidak mengulangi dosa-dosa tahun lalu dan berusaha memperbaiki diri di tahun-tahun mendatang.

Dalam Islam, suatu ibadah telah memiliki tuntunan tertentu. Mengundang Ustadz untuk memberi tausyiah atau beristigfar, dzikir, dan sebagainya adalah kebaikan, tetapi jika dilaksanakan dalam rangka ulang tahun, justru keburukan. Atau dalam istilah kita disebut bid’ah. Ibadah merupakan hak paten Allah. Tidak layak bagi seorang hamba menambah-nambah.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim]

Bahkan perbuatan menambah-nambah ibadah seperti ini bukan sekedar tidak mendapat pahala, tetapi juga tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)
Karena itu, jika perayaan milad ini disebut ibadah, maka ia tidak dibolehkan.

Kedua, milad hanya sekedar tradisi atau kesenangan semata. Perayaan jenis ini bisa saja mengundang keluarga atau teman-teman terdekat dalam acara perjamuan. Hanya sekedar mengungkapkan kesenangan semata. Jika demikian, perayaan milad masih tidak dibenarkan. Sebab kesenangan dan tradisi seperti ini tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak juga para sahabat, tabi’in dan atba’ut tabiin. Ia ditirukan dari orang-orang di luar Islam.

Perayaan dalam Islam disebut Ied. Atau hari raya. Iedul Fitri, Iedul Adha, dan hari Jumat, merupakan ied atu hari raya dalam Islam. Perayaan yang berulang-ulang disebut ied. Maka jika ualng tahun dilakukan berulang-ulang, dan memang dilakukan berulang-ulang, maka ia juga ied. Padahal setiap kaum telah memiliki iednya masing-masing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا

Setiap kaum memiliki Ied, dan hari ini (Iedul Fitri) adalah Ied kita (kaum Muslimin)” [HR. Bukhari-Muslim]

Lalu rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari kaum tersebut” [HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban]
‘Seolah-olah bagian dari kaum tersebut’ dalam hadist di atas sudah cukup menjadi alasan seorang muslim untuk tidak merayakan hari ulang tahun atau milad. Dalam hadist yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa kaum Muslimin kelak akan mengikuti orang Yahudi dan Nashrani, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan hingga mereka masuk ke lubang biawak. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mencontohkan untuk tidak meniru-niru orang-orang di luar kita. misalnya ketika beliau merubah arah sisir hanya karena orang-orang Yahudi menyerupai arah sisirnya. Salah satu ciri diwajibkannya memanjangkan jenggot bagi lelaki muslim dan mencukur kumis juga karena perlunya penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi dan Nashrani. Mereka mencukur jenggot dan memelihara kumis.

Terkait milad, seorang Muslim yang mengetahui keburukan milad ini, jika tidak bisa mencegahnya, hendaknya menghindar dan tidak mempromosikannya.
Allah ta’ala berfirman.

والذين لا يشهدون الزور وإذا مروا باللغو مروا كراما
Yaitu orang yang tidak ikut menyaksikan Az Zuur dan bila melewatinya ia berjalan dengan wibawa” [QS. Al Furqan: 72]

Rabi’ bin Anas dan Mujahid menafsirkan Az Zuur pada ayat di atas adalah perayaan milik kaum musyrikin. Sedangkan Ikrimah menafsirkan Az Zuur dengan permainan-permainan yang dilakukan adakan di masa Jahiliyah.

Kebencian kita terhadap aqidah orang-orang Musyrik, Yahudi, dan Nashrani, tidak sekedar tidak mengikuti ibadah mereka, tetapi juga menyelisihi semua kebiasaan yang menjadi kekhususan mereka. Termasuk milad yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.

Kebencian ini merupakan hikmah dari aqidah kita, aqidah al-wala wal bara’, (kepada apa kita loyal dan kepada siapa kita berlepas diri).

Allah ta’ala berfirman
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” [QS. Al Mujadalah: 22]

Maka nyatalah bahwa kaum Muslimin tidak layak mengagungkan merayakan syiar-syiar mereka.

Lalu bagaimanakah cara mensyukuri bertambahnya umur?

Tidak merayakan perayaan khusus. Baik dengan maksud ibadah maupun bukan ibadah. Mensyukuri nikmat usia bukanlah pada hari-hari tertentu, tetapi hendaknya dilakukan setiap hari. Bahkan setiap saat. Dalam dzikir pagi-petang ada lafadz,

”Aku mengakui nikmatMu yang Engkau anugerahkan padaku. Dan aku mengakui dosa-dosaku. Karena itu ampunilah aku…”

Instrokpeksi diri juga hendaknya dilakukan setiap saat.

Allah ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya untuk hari akhirat.”
Kepada saudara seiman, sungguh keindahan bersaudara dalam Islam. Dan semoga kita semua dikumpulkan oleh Allah di surganya kelak.[]
Share on :

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Subhanallah.

Blog ini bagus. Banyak ilmunya.

http://student.blog.dinus.ac.id/pujiamimutiara/2016/07/24/mengenal-sistem-produksi-toyota/

Posting Komentar

 
© Copyright Formis Official Site 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all