Featured Post 2

Marhaban. Selamat datang di forum anak-anak Selayar di perantauan. Forum Muslim Ilmiah Selayar (FORMIS)

BALADA SARJANA

BANYAK yang berdebat tentang definisi ilmu dan pengetahuan. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa ilmu itu sama saja dengan pengetahuan. Ada juga yang mengatakan tidak sama. Sebagian menganggap ilmu lebih luas dari pengetahuan dan sebagian yang lain menganggap pengetahuan lebih luas dari ilmu. Kami tidak sedang ingin memberi tahu Anda tentang definisi ilmu dan pengetahuan. Apapun yang Anda katakan, sederhananya, ilmu dan pengetahuan adalah nama-nama yang kita berikan terhadap segala sesuatu. Nama yang Anda sematkan padabenda-benda, pandangan Anda tentang itu, bagaimana Anda berpikir tentang benda itu, atau tentang manusia, tentang kitab, nabi, agama, Tuhan. Ilmu dan pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu dan apa yang harus dilakukan. Itulah Ilmu, itulah pengetahuan.
Sebagian diantara kita telah banyak
mengecam pendidikan tinggi. Merekalah yang menggelari dirinya dengan ‘kaum intelektual’. Entah mereka yang menggelari diri sendiri atau pihak lain yang menamai mereka seperti itu. Yang jelas, mereka disebut ‘kaum intelektual’. Keahlian mereka tentu berbeda. Tergantung disiplin ilmu yang mereka tekuni di masing-masing perguruan tinggi dengan fakultas dan jurusan yang berbeda. Orang-orang seperti ini berbicara dengan nada-nada yang dapat mereka atur sedemikian rupa. Hingga jiwa yang mendengarnya seolah terbius dengan berbagai macam istilah yang konon katanya ‘ilmiah’. Regulasi, partisipasi, globalisasi, analitis, skeptis, kritis, hanyalah sebagian dari jurus-jurus mematikan yang sering mereka ‘kaum intelektual’ lancarkan. Membungkam mulut sebagian orang. Menyuruh mereka diam dan tidak bereaksi kecuali hanya mendengar saja. Mendengar berbagai macam solusi dari orang-orang yang katanya ‘terpelajar’.
Orang-orang tua di kampung dengan bangga menyekolahkan mereka ke berbagai perguruan tinggi di kotanya orang terpelajar. Tiga, empat, atau lima tahun kemudian mereka pun kembali ke kampung halaman. Mengajari orang-orang tak berpendidikan. Tentang hidup, tentang uang, tentang pekerjaan, dan tentang teori-teori kebahagiaan dan kesejahteraan. Orang-orang tua ini mengangguk-angguk. Padahal kuda pun dapat melompat ke bulan jikalau sekiranya yang mereka katakan itu dimengerti. Malangnya, dengan cap telah mendapat pendidikan tinggi, orang-orang kampung percaya begitu saja, dan menganggap sang sarjana adalah juru selamat dari kota. Ibarat si Suta dari Gua Hantu bersama monyetnya. Keluar dari gua tempat berdiamnya, bertapa, setelah menguasai berbagai macam jurus, keluar membantu rakyat jelata yang ditindas orang-orang jahat.
Para sarjana ini pulang dengan berbagai macam jurus. Mereka telah bertapa selama bertahun-tahun dalam tembok-tembok universitas. Mereka berbicara tentang kemiskinan. Dalam ruang yang nyaman dengan pendingin ruangan yang lengkap. Jauh dari kemiskinan. Dekat dengan kekayaan. Maka kami pun bertanya, ‘siapa yang memberi tahu mereka tentang kemiskinan?
Kami teringat pada sinema-sinema Angling Dharma yang dapat melihat situasi masyarakatnya cukup dengan beberapa mantra pada air dalam bejana. Lalu ia pun melihat sang penjahat sedang menjarah kampung-kampung. Atau film layar lebar Tutur Tinular dengan pedang sakti dan sihirnya. Bedanya, mereka terlibat langsung dalam aktifitas masyarakat miskin, sedang para sarjana merumuskan mantera cukup dalam ruang tertutup tanpa harus berdialog dengan rakyat yang kata mereka miskin.
Inilah potret pendidikan kita. Kita menyekolahkan orang-orang terbaik dari kampung kita. Berangkat dengan sebagian hasil penjualan pertanian dan perkebunan orangtua. Atau perhiasan Bunda mahar dari Ayah. Dengan gembira anak-anak ini pun duduk di bangku kuliah. Tidak ada dalam benak mereka selain pendidikan tinggi yang membuat mereka dapat bekerja pada perusahaan-perusahaan besar. Menjadi kaya. Lebih baik dari orang tua. Dan kembali ke kampung halaman dengan pendapatan yang jauh lebih besar dari semua penduduk kampung. Dan pada saat bersamaan, menjadi asing dengan kampung sendiri.
Sarjana-sarjana ini bukan lagi orang kampung. Mereka orang terpelajar. Tangan mereka tidak mampu lagi menyentuh kayu bakar. Becek adalah noda bagi mereka. ‘Timburung’[1] adalah aib bagi mereka. Menggembala, bertani, beternak, merupakan profesi rendah dalam pandangan sarjana ini. Bagi orang-orang terpelajar ini, sejahtera hanyalah kosa kata khusus bagi petinggi-petinggi perusahaan, banker, akuntan, dan sejenisnya. Mereka tampak sangat mencolok dari yang lain. Mencolok dengan bahasa, tingkah laku, dan cara bergaul mereka. Diminta bertani tak mampu, beternak pun tak mampu. Yang dapat mereka perbuat hanyalah berceramah tentang kesejahteraan. Di tengah masyarakat miskin. Dengan teori-teori membingungkan. Maka tidak ada yang didapatkan orang-orang tua kita selain kekaguman atas retorika yang sesungguhnya tidak mereka pahami. Ironis memang. Anak-anak yang disekolahkan dengan harapan membantu pengembangan usaha justru tak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya mampu mengetik dan membaca buku-buku tebal. Mereka hanya mampu berbahasa Inggris. Tidak mampu memegang cangkul. 
Kita ibaratkan anak-anak ini sebagai perahu. Tentu tidak susah menebak dimana mereka berlabuh. Tidak lain di kantor-kantor. Yang memang butuh juru ketik dan ahli-ahli bahasa. Merekalah yang membuat kebijakan. Kebijakan tentang para petani dan lahan taninya. Kebijakan oleh mereka yang tidak tahu memegang cangkul. Kebijakan tentang peternak dan ternaknya oleh mereka yang tidak tahu jenis rumput makanan sapi. Padahal mereka adalah utusan-utusan orang tua di kampung yang diharapkan membangun ekonomi keluarga, kampung, dan desanya. Membangun pertanian, perkebunan, peternakan, nelayan, lalu apa yang dapat mereka bangun? []
FIS II Fakultas Ekonomi Unhas
8 Muharram 1433





Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Formis Official Site 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all