Featured Post 2

Marhaban. Selamat datang di forum anak-anak Selayar di perantauan. Forum Muslim Ilmiah Selayar (FORMIS)

Mengkritisi Dogma

RABU 19 Jumadil Ula 1433, dalam sebuah diskusi di kelas sosiologi, seorang teman mengajukan konsep baru tentang pola sosialisasi. Menurutnya, pola sosialisasi itu bukan represif dan partisipatori, tetapi dogma dan berpikir kritis. Kala itu kami sedang membahas “Keluarga dan sosialisasi”. Jadi menurut dia, sosialisasi terhadap anak dalam keluarga terjadi melalui proses dogma dan proses berpikir kritis.

Dogma yaitu apa-apa saja yang ditekankan oleh orang tua untuk dianggap benar atau salah oleh si anak, tanpa pernah bertanya apakah itu benar-benar ‘benar’ atau salah. Sedangkan berpikir kritis adalah proses dimana anak diberi kebebasan berpikir untuk menentukan apakah ini benar atau itu salah.
Lebih lanjut ia mengatakan, represif dan partisipatori merupakan bagian dari dogma. Jadi, hukuman (represif) dan pelibatan/pemberian pilihan (partisipatori) dalam bersosialisasi terhadap anak merupakan cara orang tua menanamkan dogma dan doktrin-doktrinnya kepada sang anak.

Dalam tulisan ini, kami hendak mencermati lebih dalam tentang konsep dogma dan berpikir kritis oleh kawan kita ini.

Memang benar kebanyakan nilai-nilai yang diajarkan orang tua kita dilakukan dengan cara doktrin. Seorang anak kadang tidak diberi tahu sebab akibat atau argumen tertentu untuk membenarkan atau menyalahkan sesuatu. Ia cukup menerima apa saja yang disodorkan orang tua karena orang tua tidak mungkin menginginkan keburukan bagi anak-anaknya. Kalau orang tua mengatakan ini benar, sudah pasti benar. Jika dikatakan salah, sudah pasti salah.

Ia mencontohkan surga dan neraka. Katanya, surga dan neraka ditanamkan dengan cara doktrin atau dogma. Kita tidak pernah diajak benar-benar berpikir kritis apakah surga dan neraka itu ada atau tidak. Apakah ia hanya sekedar khayalan atau fakta ilmiah yang tak dapat dibantah. Menurutnya, segala dogma yang selama ini bercokol di kepala kita perlu dikritisi kembali.

Mulia sekali niat kawan kita ini. Mengajak kita untuk lebih objektif. Mahasiswa memang harus ilmiah. Ia akademisi. Pintu berpikir dan menganalisa, berpikir kritis, terbuka lebar di depannya. Namun nampaknya, maksudnya tidak seperti itu.

Dari cara menyampaikannya, serta contoh yang ia berikan, kami menangkap sinyal bahwa ia bukan ingin berpikir kritis atau mengajak orang berpikir kritis terhadap dogma-dogma agama. Sebenarnya ia sedang berusaha menanamkan keragu-raguan dalam dada orang-orang yang beriman akan doktrin agama yang selama ini tertancap kuat dalam hati setiap insan. Terutama kaum Muslimin. Lihatlah contoh yang ia gunakan, mengapa ia memakai surga dan neraka? Mengapa bukan panas dan dingin? Mengapa ia tidak mengangkat contoh dogma warna? Misalnya orang tua kita mengatakan ini hitam ini putih? Lalu mengapa saat ini kita terima saja bahwa memang ini hitam dan ini putih? Mengapa kita tidak kreatif menciptakan nama warna yang lain?
Atau contoh lain. Orang tua sering mengatakan jangan duduk dibantal agar tidak bisulan. Doktrin ini tertancap kuat dalam hati kami bahkan setelah kami tahu bahwa tidak ada korelasi positif antara duduk dibantal dengan bisulan yang disebabkan mikroorganisme tertentu. Atau doktrin untuk membawa sedikit tanah tempat tinggal ketika hendak bepergian jauh. Agar tetap terkenang dan tidak lupa kampung halaman. Juga ada doktrin untuk tidak menginjak kaki teman karena ibu kita akan segera mati. Hingga kuliah dan paham bahwa semua itu tidak ada korelasinya sama sekali, doktrin larangan menginjak kaki teman ternyata masih kuat terpatri. Juga tidak bolehnya kita memukul seseorang menggunakan sapu. Sebab nanti ia akan kualat dan tidak bisa menikah. Atau terlambat mendapat jodoh. Dan masih banyak lagi.

Teman kita, memilih contoh surga dan neraka, sesuatu yang sangat sensitif terhadap rasa keagamaan, dan agama adalah perjuangan tertinggi seorang Muslim. Nampaknya ia memilih contoh itu memang bukan tanpa maksud tertentu. Sebab sesungguhnya, represif dan partisipatori sudah cukup menjelaskan pola sosialisasi yang terjadi dalam keluarga.

Dalam banyak diskusi di kampus, orang-orang yang ingin disesatkan pertama kali ‘disadarkan’ bahwa ia perlu berpikir kritis. Kepada mereka dikatakan bahwa apa-apa yang kamu yakini selama ini hanyalah dogma dari orang tuamu. Termasuk agama. Dan memang ini pokok perbincangan mereka. Mereka menjelaskan hampir dengan sangat detail banyaknya doktrin-doktrin agama yang menurut mereka perlu dikritisi kembali. Dari metode yang digunakan serta sikap mereka terhadap perbincangan agama, bisa dipastikan bahwa kesimpulan mereka tentang dogma agama adalah ‘salah’. Dan berpikir kritis sesuai klaim mereka tidak lain sebagai upaya membuktikan ‘kesalahan’ itu.

Diantara dogma (menurut mereka) yang pertama kali mereka kritisi adalah tidak bolehnya seseorang berpikir yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah. Menurut mereka, ‘berpikir yang tidak bertentangan dengan Qur’an dan sunnah’ memang benar bagi orang yang meyakininya. Bagi yang tidak meyakini kebenaran Al-Qur’an dan sunnah, syarat itu tidak berlaku. Karena itulah, yang pertama kali harus kita patenkan dalam diri kita adalah perlunya membuka diri terhadap segala kemungkinan berpikir yang tidak hanya dibingkai dalam Qur’an dan sunnah.

Mulailah mereka memaparkan bebarapa contoh yang mereka kira dapat membenarkan klaim mereka. Bahwa Al-Qur’an dan sunnah memang tidak layak untuk selamanya dijadikan acuan atau bingkai kebenaran. Sesungguhnya mereka tidak mengajukan bukti apa-apa. Mereka hanya mengatakan “kita harus membuka diri terhadap segala perubahan.” Atau “saya bukan tidak membenarkan Qur’an dan sunnah, tetapi kita juga harus mengakui kebenaran Aristoteles dan tokoh-tokoh sepertinya” kira-kira seperti itu alibi mereka. Bukannya mengajukan bukti malah beralibi.

Dengan dalih seperti itu, mereka mulai mengkaji apa saja, terutama agama Islam, dengan pendekatan ‘Aristoteles.’ Dimana agama tidak dipandang sebagai keyakinan. Mereka menempatkan agama hanya di kepala. Akibatnya, selama ia rasional, maka akan diterima. Jika tidak maka tertolak. Sekalipun diterima, efek agama sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan jika ada yang melecehkannya tidak akan pernah mereka dapatkan. Juga amalan yang mereka lakukan tidak akan diamalkan sebagaimana seorang Muslim yang yakin, bukan sekedar paham (nalar), akan kebenaran Islam. Selain itu, menempatkan agama hanya di kepala membuat ia bercampur dengan teori-teori lain yang juga dianggap benar. Karena itulah kita melihat orang-orang seperti ini di satu waktu fasih berbicara tentang agama meskipun tidak beramal, dan di lain waktu ia lantang berteriak membela Karl Marx.

Menempatkan agama sebagai suatu objek pemikiran saja (bukan keyakinan) membuat mereka menyejajarkannya dengan objek lain yang bukan agama. Dari pengamatan kami, teman-teman yang rajin ikut kajian mereka justru lebih cinta pada teori-teori di luar agamanya. Tak lain karena ia menganggap agama hanya sebagai dogma yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, atau tidak dapat diterima secara akal sehat, sedangkan pemikiran lain itu lahir dari ‘proses pencarian yang panjang’ menurut klaim mereka. Sehingga itu tentu saja lebih pantas mereka yakini dari pada agama. Lebih pantas mereka perjuangkan.

Benarkah Al-Qur’an dan sunnah tidak dapat lagi dijadikan bingkai menilai kebenaran? benarkah keduanya tidak dapat lagi dijadikan sumber kebenaran? benarkah Aristoteles dan filsafatnya adalah puncak ilmu pengetahuan? Lalu benarkah akal dapat sepenuhnya membimbing hidup manusia menjadi lebih baik? Pantaskan dunia ini sepenuhnya diserahkan pada akal? Lalu kepada apa akal bersandar?

Kekeliruan mereka menyejajarkan Al-Qur’an dan sunnah dengan pemikiran manusia tak lain karena tak paham keduanya. Ia tidak tahu bagaimana cara menggali poin-poin istimewa yang telah disajikan Allah subhanahu wa ta’ala untuk kita hamba-Nya, mengkaji. Ia tidak dapat mengambil hikmah yang melimpah dalam Qur’an dan sunnah. Di sisi lain, ia telah meyakini bahwa agama sepenuhnya dogma. Tidak ada lagi peluang mengkajinya.

Dienul Islam ini, semakin kita mengkritisi akan semakin terang kebenarannya. Lebih terang dari matahari di waktu dhuha. Semakin menganalisis semakin dekat nilai-nilai kebenaran itu kepada kita. Lebih dekat dari urat leher. Semakin mentadabburinya, ruh Al-Qur’an dan sunnah terasa semakin menghampiri kita. Bahkan menemani hidup dan setiap langkah kita.

Dien ini memang disampaikan secara dogma. Manusia tidak diajak berpikir ketika Allah membuka Al-Quran dengan surah Al-Fatihah. Tidak ada campur tangan manusia di sana. Kita tidak pernah diminta pendapat untuk mengatur posisi ayat per ayat, surah per surah. Semua diwahyukan tanpa peran serta manusia. Juga ayat-ayatnya, nilai-nilainya juga dogma. Tetapi apakah dogma itu salah?

Dogma dalam Islam dapat dijelaskan secara ilmiah. Itu untuk semakin meyakinkan dan memberi pengetahuan baru pada manusia. Jika sikap kritisnya terhadap Qur’an benar, hasilnya akan sesuai dengan dogma-dogma dien Islam. Karena itulah kita melihat, ayat-ayat Al-Qur’an justru lebih menegaskan dogma itu. Ayat-ayatnya semakin kita teliti akan semakin membenarkan dogma yang oleh kawan kita dianggap salah. Allah juga telah menantang orang-orang yang ragu akan kebenaran Al-Qur’an untuk membuat satu surah saja yang semisal dengan Al-Qur’an. Ia boleh memanggil siapa saja yang dapat menolongnya baik dari manusia maupun jin. Namun sebelum mencoba, Allah telah memberitahu bahwa ia tidak akan pernah bisa membuatnya dan tidak akan pernah mampu. Karena itu jagalah diri dari siksa api neraka. (QS. Al-Baqarah :22-24)
Neraka adalah dogma. Tidak ada proses berpikir yang dapat menimbulkan neraka. Jika seseorang sejak lahir hingga dewasa tidak pernah mendengar neraka, maka ia selamanya tidak akan pernah tahu neraka. Karena neraka adalah dogma. Tidak lahir dari proses berpikir. Makanya Allah memberitakannya dan menyuruh kita berlindung dari neraka. Sebab ada saja orang yang tidak percaya, maka Allah telah menyediakan bukti-bukti yang dapat kita renungkan dan tanda-tanda yang dapat kita kritisi. Nah, pada ranah inilah sikap kritis dibutuhkan. Kritis mengungkap fakta-fakta tak terbantahkan dari Al-Qur’an sebagai pembenaran atas dogma dan doktrinnya.

Dien Islam bukanlah produk manusia. Ia tidak lahir dari proses berpikir manusia. Islam dari Allah, bukan dari proses berpikir kritis. Karena itu Islam adalah dogma.

Yang terpenting sesungguhnya bukan karena Islam itu dogma atau bukan. Yang paling pantas ditanyakan adalah apakah ia benar atau tidak? Apakah sebagiannya benar dan sebagaiannya salah? Apakah ia pantas dijadikan pedoman hidup? Untuk itulah butuh proses berpikir kritis.
Berpikir kritis itu ada perangkatnya. Diantaranya mencari sumber Islam yang standar, bertanya pada ulama Islam yang shalih, (bukan pada orang tidak membaca Al-Qur’an dan tahu hukum agama), memperhatikan kaidah bahasa Arab, dan lain-lain. Bukannya meneliti Islam dengan referensi orang-orang yang memang punya kedengkian dan kebencian mendalam terhadap Islam. Baik itu para orientalis mapun orang-orang Syiah.

Jadi kalau memang ingin kritis, silahkan mengkritisi ayat-ayat Al-Qur’an secara argumentatif, bukan dengan alibi, dan silahkan tunjukkan satu saja kesalahan dalam Al-Qur’an.

Hikmah Dienul Islam sebagai Dogma

Hidup manusia yang penuh masalah jika tidak ada yang menuntun pada kebaikan maka akan berujung pada kehancuran. Kebaikan itu tidak lain adalah moralitas. Dan moralitas hanya ada dalam agama. Dan agama itu adalah Islam.

Tidak ada ilmu pengetahuan yang mengajarkan perangai yang baik. Nilai-nilai kemanusiaan hanya ada dalam agama. Pedoman untuk menghormati kedua orang tua hanya ada dalam agama. Bagaimana cara beribadah juga tidak lahir dari proses berpikir. Manusia tidak dapat memikirkan nilai-nilai yang kiranya baik untuk mereka. Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat Pengasih dan PenyayangNya terhadap hamba-hambaNya menurunkan pedoman berupa Al-Qur’an dan mengutus Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sebagai panutan.

Dari manakah datangnya ajaran untuk tidak menghardik anak yatim? Dari mana datangnya anjuran berbuat baik pada kedua orang tua? Apakah itu lahir dari insting? Tidak, semuanya dari agama. Proses berpikir kritis pada manusia hanya berguna pada hal-hal yang agama memberinya ruang untuk itu. Tentang cara beribadah, tingkah laku, adab sopan santun, nilai-nilai kehidupan, semua telah dipatenkan sebagai hak milik Islam dan tidak ada seorang pun yang dapat campur tangan. Tidak ada kata partisipasi dalam hal ini sebab memang manusia tidak akan mampu.

Cukuplah sejarah masa lampau membuktikan betapa tidak berdayanya manusia menciptakan nilai yang mereka anggap baik. Kaum Nabi Luth melakukan sodomi, penyimpangan seksual pertama di muka bumi. Ketika Nabi Luth ‘alahi salam meminta mereka untuk berhenti dari tindakan itu dan menawarkan wanita-wanita, mereka menolak dan mengancam akan mengusir beliau. Umat Nabi Musa ‘alaihisalam menganggap baik menyembah anak sapi, lalu Samiri menyihirnya yang serta-merta membuat sebagian mereka menyembahnya, akhirnya mendapat kecaman dari Nabi Musa ‘alaihi salam.

Di abad ke 19, kita mengenal Darwin sebagai pencetus teori Darwin. Teori yang mengklaim segala sesuatu muncul secara kebetulan. Bahwa semua organisme sekarang muncul dari organisme lain yang berevolusi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan hingga terbentuklah jenis makhluk hidup yang lain. Teori ini lalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan dikenal dengan sebutan Darwinisme Sosial. Yakni paham yang menganggap bahwa untuk bertahan hidup, bangsa-bangsa harus bertarung sebagaimana makhluk hidup sebelumnya bertarung untuk mempertahankan hidup, terseleksi oleh alam, lalu muncullah generasi unggulan. Itulah sebabnya tidak terlalu sulit untuk mengatakan bahwa Hittler terpengaruh semangat Darwinisme sosial. Ia menginginkan ras orang Jerman asli sebagai ras yang paling unggul. Dan ia sangat yakin akan hal itu. Pembantaian dan inkuisisi pun berlangsung yang meninggalkan luka sejarah yang sangat dalam bagi para korban.

Lalu paham kapitalis yang banyak merusak. Melihat manusia bukan sebagai manusia tetapi sebagai barang modal yang dapat dimanfaatkan untuk berproduksi. Segala sesuatu dinilai dengan uang. Meski menjerat negara-negara dengan utang yang hampir mustahil dapat dibayar, yang penting dapat meraup keuntungan maka ideologi ini tetap diterapkan.

Yang paling bagus mungkin humanisme. Tetapi ini pun masih bermasalah. Sebab nilai-nilai kemanusiaan siapa yang tahu. Senior kami pernah mengatakan “yang penting kita baik pada orang”. Memangnya ukuran baik itu apa?

Jika semua nilai-nilai kebaikan dalam Islam diamalkan dengan baik oleh umat manusia maka akan baiklah dunia ini. Akan baiklah manusia.

Islam menetapkan batasan mahram agar keturunan dapat terjaga. Kehidupan manusia tetap lestari. Tidak bisa kita bayangkan jika seandainya seorang manusia menikah dengan mahramnya. Aturan pernikahan juga telah ditetapkan. Harus memenuhi rukun-rukunnya. Tidak ada wali misalnya, akan membuat keluarga terutama kedua orang tua sangat terpukul. Juga tuntunan dalam ukhuwah fillah (persaudaraan karena Allah), telah diatur sebaik-baiknya. Misalnya sesuai hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seseorang tidak dikatakan beriman hingga ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Juga adab-adab bertetangga, adab-adab bermuamalah (kegiatan ekonomi), sampai adab-adab suami-istri.
Semua itu ditetapkan secara dogma untuk kemaslahatan umat manusia. Maka berpikirlah kritis betapa banyak nikmat Allah untuk kita. Ulama kita pernah mengatakan, “Berpikirlah tentang ciptaan Allah, namun jangan sekali-kali berpikir tentang zat Allah.” Sebab ada bagian dimana manusia dapat berpartisipasi, dan bagian yang lain adalah hak Allah.
Wallahu a’lam bi shawab[]
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Formis Official Site 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all