Featured Post 2

Marhaban. Selamat datang di forum anak-anak Selayar di perantauan. Forum Muslim Ilmiah Selayar (FORMIS)

Berpikir, Merenung, Wahyu, Beriman

SEORANG TEMAN mengirimi kami sebuah tulisan singkat sebanyak 7 halaman yang ia kutip dari buku Eko Laksono yang diterbitkan Penerbit Hikmah (PT. Mizan Publika) pada tahun 2006. Tulisan ini lebih menyerupai pembukaan buku tersebut.

Ia secara singkat ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa imperium besar terbangun dari pemikiran-pemikiran. Bahwa perubahan itu sepenuhnya terjadi karena pemikiran-pemikiran. Para pemikirlah yang mempelopori perubahan. Singkatnya, dengan pemikiran inilah kita dapat melakukan apa saja. Tentunya apa saja yang kita butuhkan untuk bangkit dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.
Latarnya lebih banyak kisah Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Ia menggambarkan kisah hidup Nabi sebagai contoh konkret berkembangnya pemikiran yang dapat mengantarkan ‘Arabia’ ke cahaya yang terang benderang. Sayangnya, di sana ada interpretasi yang keliru tentang kisah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.

Mari kita telaah beberapa paragrap.

Kebenaran adalah kesesuaian ide dengan realitas.” 

Ia membuka tulisannya dengan statement ini. Sayangnya pernyataan ini diikuti penjelasan yang kurang memuaskan.

“Nabi Muhammad SAW bisa saja tidak bisa baca tulis tapi Nabi Muhammad adalah pembaca realitas yang ulung. Dalam peperangan misalnya. Ketika masih berumur belasan tahun beliau sudah ikut dalam peperangan. Begitu juga halnya ketika mengikut ekspedisi dagang pamannya ke Syam. Dari hal seperti ini Muhammad bisa belajar tentang peperangan dan ekonomi. Juga tentang bagaimana kehidupan sosial di masyarakat. Dan yang tidak boleh dilupakan juga tentu saja, bahwa ketika kecil Muhammad adalah penggembala. Sebuah pekerjaan yang telah dilakukan oleh banyak nabi sebelum Muhammad SAW.”

Allahlah yang paling tahu siapa yang hendak dipilihNya menjadi NabiNya. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang dipilih sebagai Rasul terakhir bukanlah tanpa persiapan. Jadi, kejadian-kejadian yang menimpa beliau pada masa kecil meskipun diklaim ‘kepandaian membaca realitas’, sesungguhnya lebih karena bimbingan dari Allah azza wa jalla.

Tsuwaibah Jariah (budak Abu Lahab) pernah menyusi beliau selama beberapa hari. Selanjutnya beliau disusui Halimah As-Sa’diyah dari perkampungan Bani Saad. Dalam penyusuan sudah banyak tanda-tanda kenabian beliau. Tanaman-tanaman Halimah semakin subur. Susu kambingnya menjadi melimpah. Dan keajaiban yang lain. Suatu hari, dada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dibelah malaikan. Mensucikannya agar bebas dari segala bentuk kotoran jahiliyah. Ini tentu bukan upaya Rasulullah, tetapi penjagaan Allah atas siapa saja yang dipersiapkan menjadi NabiNya.

Beliau juga tidak pernah terlibat kefasikan pemuda-pemuda Quraisy. Beliau tidak pernah menyembah berhala dan tidak pernah sedikitpun terlibat pesta miras. Bahkan beliau mendapat gelar Al-Amin. Semua ini bukanlah hasil pikir keras dan perenungan yang dalam. Ini adalah bentuk penjagaan Allah atas NabiNya kelak.

“Orang yang membaca langsung dari realitas bisa membuat kesimpulan tanpa pengaruh dari persepsi dari siapa pun yang berarti kesimpulannya bebas kepentingan jika dia jujur.”

Membuat kesimpulan bebas kepentingan, jujur, adalah dambaan kita semua sebagai orang cerdas. Namun membaca langsung dari realitas tidak serta merta menghasilkan ‘kesimpulan tanpa pengaruh dari persepsi siapapun’. Sebab dalam pengamatan realitas itu ada informasi yang telah tersimpan dalam benak si pengamat yang mempengaruhi cara pandangnya terhadap segala sesuatu. Faktanya, lebih banyak pengamatan realitas sangat tergantung pada persepsi tertentu yang telah tersimpan di benak masing-masing sebelum pengamatan itu dilakukan.

Selain itu, ‘pengamatan realitas’ juga membutuhkan standar keahlian tertentu. Untuk satu objek, gedung misalnya, cara pandang seorang arsitek berbeda dengan cara pandang ekonom. Sang arsitek bisa mengatakan gedungnya tidak berseni. Ekonom bisa mengatakan gedung ini cukup efisien dengan dana yang cukup. Dan karena nilai seninya tidak setinggi sang arsitek, tidak menutup kemungkinan mereka akan berseberang pendapat.

‘Pengamatan realitas’ tanpa bekal tuntunan ilmu juga bisa membahayakan umat manusia. 
Darwin yang mengamati berbagai spesies makhluk hidup dalam perjalannya menyimpulkan bahwa semua makhluk hidup berasal dari satu organisme yang sama. Kemudian terjadilah evolusi yang menghasilkan beragam makhluk hidup. Pandangan ini terbukti salah secara ilmiah. Dan logika sederhana pun dapat membantah semua teorinya. Bahkan tidak ada sedikit pun 
bukti fosil yang mampu mendukung pendapatnya.[1]

Karl Marx yang mengamati ‘realitas’ tentang agama juga tidak kalah menyimpangnya. Ia mengatakan ‘agama adalah candu.” Suatu ungkapan nyeleneh karena ia mengamati realitas dengan bekal informasi yang telah ia simpan bertahun-tahun. Kehidupannya dalam lingkungan kristen yang menggunakan gereja untuk memaksakan kehendak dan menindas rakyatnya, tidak memberi ruang berkarya,[2] melakukan inkuisisi[3], dan lain-lain. Wajar saja jika Karl Marx yang ingin berekspresi dengan berbagai pemikirannya mengatakan bahwa agama adalah candu. Sebab ia memang tidak menemukan landasan berpikir yang tepat dalam agama orang-orang di sekelilingnya saat itu. Agama di lingkungannya tak lain dogma dan doktrin yang turun-temurun tanpa pernah dibuktikan keabsahannya melalui pemikiran. Berbeda dengan Islam yang semakin dikaji semakin tajam pengetahuan kita akan keotentikan Al-Qur’an dan hadist yang dipahami sesuai pemahaman generasi terbaik Islam[4].

Sebagaimana halnya ‘pengamatan terhadap realitas’ tidak menutup pintu kerusakan, ternyata kesimpulan tanpa perlu melihat ‘realitas’ tidak menutup kemungkinan adalah kesimpulan yang tepat dan memenuhi syarat kebenaran seperti yang dikemukakan sebelumnya. (kebenaran adalah kesesuaian ide dengan realitas). Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah memprediksi bahwa kaum Muslimin akan menaklukkan Romawi dan Persia. 

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, sebagaimana disebutkan dalam kitab ash-Shahihain, 

"Apabila masa kekaisaran yang ada saat ini telah tumbang, maka tidak akan ada bentuk kekaisaran lagi setelahnya. Apabila Kaisar telah tumbang, maka tidak ada lagi Kaisar setelahnya. Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh kalian akan menginfakkan harta benda dan hasil penaklukan keduanya di jalan Allah."

Hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi. Kekaisaran Romawi terusir dari negeri Syam dengan penaklukan pada kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan Radiallahu anhum ajma’iin. Dan hadist ini diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bukan dari pengamatan realitas, bukan pula hasil renungan dan berpikir keras, tetapi wahyu dari Allah ta’ala.

Allah azza wa jalla berfirman:

“Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 2-4)

Hadist-hadist Rasullah baik yang sedang terjadi di hadapan beliau maupun yang akan datang dan yang telah berlalu sepenuhnya tidak lahir dari ‘pengamatan terhadap realitas’ melainkan wahyu dari Allah ‘azza wa jalla. Begitupun jawaban beliau atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Semuanya berasal dari wahyu Allah kepadanya. 

Kisah dua orang yang melakukan perundingan di bawah ka’bah untuk membunuh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi penjelasan tambahan tentang hal ini. Ketika dua orang tadi telah berhasil menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Namun Rasulullah tahu maksud dan pembicaraan mereka. Kedua orang itupun kaget. Dan akhirnya masuk Islam. Mereka tahu betul bahwa orang di depannya adalah nabi sesungguhnya yang menerima wahyu dan bimbingan langsung dari Allah. Bukan sekedar manusia biasa yang dapat melakukan pengamatan realitas sebagaimana manusia lain juga dapat melakukannya. Sekalipun masuk Islamnya mereka dianggap karena keahlian mereka membaca realitas, realitas yang dibaca itupun tak lain adalah wahyu (bimbingan, baik dalam bentuk perkataan maupun perangai) Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.

“Mari membaca realitas. Membaca ilmu langsung dari sumbernya.”

Realitas tidak sepenuhnya dapat dikatakan sumber ilmu. Ia hanya satu bagian dalam mencapai kesimpulan tertentu. Sumber ilmu yang paling utama adalah wahyu. Realitas yang diamati dengan panca indra hanya satu bagian dari sumber ilmu. Yaitu dengan memanfaatkan nikmat panca indra yang dianugerahkan Allah kepada kita untuk merenungi ciptaanNya. Yang akhirnya semakin meningkatkan ketakwaan kita kepada-Nya.

Jika memang ingin keluar dari kegelapan dengan banyak membaca dan merenung, maka yang dibaca dan direnungi sebelum ‘realitas’ adalah wahyu. Wahyulah yang dapat menuntun manusia menuju cahaya yang terang benderang. Tanpa bimbingan wahyu manusia hanya akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan sebagai landasan gerak ke arah yang membinasakannya.
Tidak ada yang meragukan Abu Jahal dan Abu Lahab sebagai pembaca realitas yang ulung. Mereka bukan tidak paham realita bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul Allah. Mereka juga bukan tidak tahu bahwa Islam adalah agama yang haq. Mereka bukan tidak tahu bahwa penyembahan berhala adalah kesia-siaan. Mereka ulung membaca realitas. Tetapi hati mereka tertutup kabut kedengkian dan rasa takut kehilangan kekuasaan di Makkah. Kafilah dagang dari berbagai penjuru yang menguntungkan mereka merupakan sumber pendapatan yang besar. 

Datangnya Islam yang menghapus agama mereka menjadi momok besar akan turunnya reputasi mereka. Sebab Islam tidak memandang penguasa dan bukan penguasa. Semua di mata Allah sama. Yang paling mulia diantara manusia adalah yang paling baik ketakwaannya kepada Allah. Konsep ‘sederajat’ ini tidak mereka terima. Karena itu berarti menyamakan budak dengan majikannya. Mereka menganggapnya penghinaan. Maka sekalipun mereka membaca realitas, namun tidak menjadikan hati mereka terbuka menerima kebenaran yang dapat mengangkat mereka dari kegelapan dan kejahilan Arabia. 

Lalu Abu Thalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa yang meragukan pemahaman Abu Thalib. Kafir Quraisy tidak terlalu leluasa menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam berkat perlindungan sang paman. Ia adalah orang kafir yang paling gigih membela agama ini. hingga di akhir hayatny, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisinya, memintanya mengucapkan kalimat tauhid, tetapi ia enggan. Rasa cinta pada agama nenek moyangnya menjadi benteng kuat yang menghalanginya dari cahaya islam. Maka matilah ia dalam keadaan kafir terhadap agama Allah. 

Fir’aun juga bukan tidak mampu membaca realitas. Sebagai raja dengan wilayah yang luas, ia sangat mampu membaca realitas. Saking ulungnya, ia sampai membunuh anak-anak laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup anak-anak perempuannya.

“Dan ingatlah ketika Kami selamatkan kamu dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya. Mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya. Mereka menyembelih anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (QS. Al-Baqarah: 49)

Pembunuhan itu ia lakukan justru karena kecerdasannya. Ia sudah memprediksi bahwa anak laki-laki Bani Israil akan menjadi perwira yang kelak akan menjadi bumerang bagi kerajaannya. Maka tidak ada pilihan lain bagi Fir’aun yang cerdas membaca realitas selain membunuh anak-anak itu.

Bani Israil juga selayaknya menjadi pelajaran penting bagi orang-orang yang hendak membaca realitas. Realitas yang begitu nyata di hadapannya ternyata tidak membuat mereka menerima kebenaran. Nabi Musa ‘alaihi salam telah menyelamatkan mereka dari Fir’aun. Laut telah dibelah di depan mata mereka dan mereka tahu bahwa laut itu benar-benar terbelah berkat mukjizat Nabi Musa ‘alaihi salam. Mereka melewati laut itu sebagaimana mereka melewati daratan. Lalu mereka masih takut akan tersusul. Padahal realitas di depan mereka menunjukkan bahwa tidak mungkin mereka tersusul selama Nabi Musa ‘alaihi salam bersama mereka. Bahkan ketakutan itu belum juga hilang hingga Fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan Allah di lautan itu.

“Dan ingatlah ketika Kami belah laut untukmu. Dan Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (QS. Al-Baqarah: 50)

Lalu Bani Israil dibawa Nabi Musa ‘alaihi salam menuju negeri Palestin. Selama perjalanan mereka senantiasa dinaungi awan. Sehingga mereka tidak kepanasan. Ketika Bani Israil meminta air, Allah memerintahkan Nabi Musa ‘alaihi salam memukul batu dengan tongkatnya hingga memancarlah 12 mata air. Satu mata air untuk satu suku bani Israil.

“Dan ingatlah Musa ketika memohon air untuk kaumnya. Lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu memancarlah dari padanya 12 mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing…” (QS. Al-Baqarah: 60)

Kepada mereka juga diturunkan ‘manna’ dan ‘salwa’. Makanan siap makan dari langit. Kontan dari langit.

“Dan kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu manna[5] dan salwa[6].” (QS.Al-Baqarah: 57)

Kita juga tidak boleh lupa bahwa Bani Israil telah membaca realitas bahkan mereka sendiri mengalaminya, yakni ketika Allah mematikan mereka atas keangkuhan mereka untuk tidak beriman kepada Allah setelah semua realitas yang telah dengan gamblang terpampang dihadapan mereka. Barangkali karena mereka tidak melihat ‘realitas’ wajah Allah sehingga mereka tidak mau beriman.

Allah ta’ala berfirman:

“Dan ingatlah ketika kamu berkata,”Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang[7], karena itu kamu disambar halilintar sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 55-56)

Semakin banyak realitas di hadapan mereka dan mereka membaca realitas itu, semakin besar pula keingkarannya. Hingga akhirnya sampailah mereka di gerbang Palestina, (Baitul Maqdis) dan Nabi Musa ‘alahi salam menyuruh mereka masuk ke negeri itu.

“Dan ingatlah ketika Kami berfirman,”Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis),..” (QS.Al-Baqarah: 58)

Apa yang terjadi, apakah mereka masuk ke negeri itu? Setelah semua pertolongan Allah atas mereka apakah mereka menjadi beriman dan merenung? Apakah realitas itu membuat mereka serta merta merenung? Lalu apakah perenungan mereka itu membuat mereka serta-merta beriman?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman pada ayat selanjutnya

“Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik.” (QS.Al-Baqarah: 59)

Setelah keingkaran Bani Israil atas segenap perintah, setelah keingakaran mereka atas semua realitas kenabian dan kekuasaan Allah atas mereka, Nabi Musa ‘alaihi salam memohon kepada Allah untuk dipisahkan dari orang-orang seperti mereka. Allah memisahkan Nabi Musa ‘alaihi salam dan orang-orang yang beriman dari orang-orang yang tidak beriman. Mereka dibiarkan terkatung-katung tidak masuk ke negeri itu dan Nabi Musa ‘alaihi salam pergi bersama orang-orang yang beriman.

Tersisa waktu 40 tahun Nabi Musa ‘alaihi salam bersama kaumnya itu. Waktu ini dimanfaatkan dengan baik, mendidik kaumnya menjadi orang berilmu dan beriman. Hingga akhirnya Yusya bin Nun, murid Nabi Musa ‘alaihi salam yang menemani beliau bertemu Nabi Khidr, sepeninggal Nabi Musa ‘alaihi salam ia memimpin Bani Israil membebaskan Baitul Maqdis dari penduduk Madyan yang zalim.

Ingin membaca realitas dan ingin realitas itu bermanfaat? Lihatlah umat Nabi Musa ‘alaihi salam yang beriman. Dengan keimanan karena penerimaan mereka atas wahyu dan mukjizat Nabi Musa ‘alaihi salam mereka mampu mengeluarkan diri mereka dari kegelapan. Lebih dari itu, mereka melakukan penaklukan.

Semuanya bukan semata-mata kehandalan melihat realitas dan perenungan. Melainkan karena bimbingan Nabi Musa ‘alaihi salam yang dibimbing Allah dengan wahyu. Maka jalan perubahan yang paling utama adalah wahyu dengan mengikuti orang yang mendapat wahyu itu.

Maka jika ingin realitas bermanfaat untuk mengantarkan kita pada kebenaran dan mengeluarkan kita dari kegelapan, setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, mengamati realitas itu sebagaimana ia terjadi. Tidak memanipulasi. Tidak membohongi diri. Dan mengatakan bahwa itu benar-benar terjadi. Kedua, membuka hati atas bimbingan wahyu yang diturunkan Allah ta’ala.

 “Ibn Sina sejak kecil suka merenung di mesjid sampai pagi. Newton sedang merenung di bawah pohon apel ketika menemukan teori gravitasi. Begitu juga halnya dengan Einstein dan Napolen. Tidak jauh berbeda dengan orang-orang besar tersebut nabi Muhammad SAW juga melakukan pengasingan dan menyendiri untuk mencari pencerahan di Gua Hira di atas bukit.”

Orang yang merenung cenderung dapat menghasilkan pemahaman yang lebih baik dari pada orang yang tidak merenung sama sekali. Ibnu Sina, Newton, Eisntein, merenung, melihat gejala alam lalu meramunya menjadi sebuah teori atau apapun namanya yang kelak bermanfaat bagi manusia. Namun tidak demikian dengan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Pengasingan diri ke gua Hira dilakukan untuk menghindari pengaruh buruk dari ritual penyembahan berhala dan keburukan lainnya di zaman itu. Solusi pencerahan yang akhirnya beliau usung adalah wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dia bukanlah hasil pemikiran dan perenungan manusia seperti pada umumnya.

Seseorang dapat merenungi nasibnya yang kebablasan karena kreditnya macet. Lalu ia menemukan solusi jitu menerbitkan kembali matahari semangatnya yang sempat terbenam. Ia lalu bangkit dari kesedihan yang mendalam dan mulai berbenah. Ia membaca buku-buku motivasi, semakin memperluas jaringan pertemanan, mendokumentasikan memoar penting dalam setiap keputusannya. Itu adalah cara jitu mengatasi gundah-gulana yang seseorang bisa dapatkan dari merenung. Merenung atas realitas yang sedang menimpanya. Yang terjadi di hadapannya.

Berbeda dengan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemukan solusi, jalan keluar dari kegelapan Arabia, tidaklah sama dengan tokoh anonim kita yang keluar dari masalah kredit macet. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat bimbingan wahyu dari Allah. Wahyu pertama. Tanda beliau telah menjadi Nabi. Lalu wahyu kedua, tanda beliau menjadi Rasul. Tanpa bimbingan yang benar, dan sebaik-baik bimbingan adalah wahyu Allah, perenungan tidak jarang menghasilkan kesimpulan yang keliru. Sebagai mana Budha Gautama yang merenung dan menciptakan ‘budha’ (budi/budaya) yang selanjutnya menjadi agama. Apakah agama budha adalah agama yang benar? Apakah ia direkomendasikan Allah dan RasulNya?

“Perlu pemikiran yang besar untuk perubahan. Perubahan tanpa dilandasi pemikiran yang kuat adalah sementara dan pura-pura.”

Benar, tetapi perubahan seperti apa? Pemikiran yang besar sesungguhnya adalah pemikiran yang berlandaskan wahyu dari yang Maha Besar. Semua pemikiran yang bertentangan dengan wahyu Al-Qur’an cepat atau lambat hanya akan menemui kebuntuan. Telah berlalu masa humanisme dan sosialisme. Komunisme juga telah terbukti kehancurannya. Saat ini kapitalisme tidak dapat membuktikan dapat memberikan solusi yang baik bagi penuntasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kemiskinan tidak ada ditandai dengan tidak adanya penduduk yang mau menerima zakat. Hingga zakat itu dikirim ke negeri orang-orang kafir.

Pemikiran besar atau kecil tidaklah terlalu penting. Yang terpenting sesungguhnya adalah seberapa besar sumbangsih pemikiran itu terhadap perubahan yang lebih baik. Dan itu tidak akan terjadi jika semuanya tidak berdasarkan wahyu dari Allah.

“Bagi Muhammad Saw bukan hal yang sulit untuk mengetahui bahwa yang dilakukan kaumnya adalah salah tapi butuh pemikiran yang keras untuk mengetahui mana yang benar. Melakukan perenungan` dan berpikir di gua Hira bisa membantunya menemukan pencerahan. Disana dia bisa mememikirkan keadaan kaumnya dan bagaimana cara mengubahnya.“

Benar, bukan hal yang sulit bagi siapapun yang sesak dadanya melihat kaumnya menyembah berhala. Mengubur hidup-hidup bayi wanita, memperdagangkannya, dan berpesta miras. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menemukan solusi atas semua permasalahan ‘kegelapan’ Arabia itu dengan berpikir keras. Sebagaimana ungkapan penulis, “tetapi butuh pemikiran yang keras untuk mengetahui mana yang benar” pencerahan yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dapatkan tidak lahir dari proses perenungan yang panjang. Juga bukan karena berpikir keras. Tetapi Allah ‘azza wa jalla telah menentukan waktu untuk memberikan wahyu pertama kepada Rasulullah. Bahkan, setelah menerima wahyu pertama bukannya mendapat pencerahan, Rasulullah justru menggigil karena takut yang luar biasa. Hingga Khadijah radhiallahu ‘anha menyelimuti beliau.

Kronologis penyampaian wahyu pertama semakin menguatkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendapat pencerahan dari proses merenung. Jibril ‘alaihi salam datang dari ufuk dengan penglihatan yang jelas oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diajarkan oleh Jibril yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas, dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian di mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat pada Muhammad sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya” (QS.An-Najm : 2-11)

Alih-alih mendapat pencerahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi semakin takut. Beliau bebarapa lama menanti wahyu kedua turun. Lalu datanglah Jibril membawa wahyu kedua, surah Al-Mudattsir, perintah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdakwah kepada kaumnya.

Jadi, pencerahan itu belum di dapatkan Rasulullah ketika di gua hira, itu baru permulaan sebelum wahyu-wahyu berikutnya turun dan memberi pencerahan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Arabia, dan umatnya sampai sekarang.

“Jadi secara ringkas Muhammad SAW tidak melakukan revolusi tanpa persiapan bahkan Beliau telah mempersiapkan dan dipersiapkan sebelum beliau lahir. Masa kecil yang jauh dari kota menjaganya dari perilaku buruk bangsa Arab waktu itu. Terpaan mental yang kuat memastikannya untuk tidak mudah menyerah. Perempuan-perempuan besar yang ada disekitarnya memberikannya pendidikan, pengawasan, perlindungan, dan dukungan. Kepandaiannya bergaul di masyarakat mengajarkannya tentang kondisi kaumnya. Kebiasaannya bermasyarakat dekat dengan alam mendidiknya untuk selalu dekat dengan realitas. Dengan ini Muhammad Saw bisa langsung belajar dari realitas. Perilaku baiknya dalam masyarakat membuatnya mendapat pengakuan dan kepercayaan sehingga pada dasarnya orang Arab tidak punya alasan untuk mendustakan Muhammad Saw nantinya. Dan yang terakhir tentu saja. Muhammad Saw adalah pemikir yang besar yang menghabiskan banyak waktunya untuk memikirkan keadaan kaumnya. Kita tidak bisa menjadi seperti Muhammad Saw tapi tentu saja kita bisa belajar banyak hal dari kisah hidupnya.”

Semua Nabi Allah telah dipersiapkan sebelum mereka diangkat menjadi nabi dan rasul. Termasuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dipersiapkan dengan pergaulan yang baik dengan semua lapisan masyarakat. Dan ini adalah ciri khas pada setiap Rasul. Misalnya Nabi Syu’aib ‘alaihi salam yang diutus untuk penduduk Madyan. Nabi Nuh ‘alaihisalam yang hidup bersama kaumnya selama 1000 tahun kurang 50 tahun sesuai bahasa Al-Qur’an. Kepada penduduk ‘Ad diutus Nabi Hud yang bergaul dengan kaumnya. Juga Nabi Musa ‘alahisalam bergaul dengan keluarga Fir’aun sebelum menjadi Rasul. Beliau juga dekat dengan Bani Israil. Allah memang telah menegaskan hal ini. Bahwa tidaklah seorang Nabi itu diutus melainkan dari kaum itu sendiri.

Jadi, Rasulullah dekat dengan realitas adalah cara Allah mempersiapkan RasulNya. Dan kepiawaian dakwah Nabi kepada umatnya secara umum dan kepada penduduk Mekah khususnya bukan karena semata-mata ia dekat dengan ‘realitas,’ tetapi lebih karena bimbingan Allah. Keberhasilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bukan karena kehandalan beliau berdakwah sebagai hasil perenungan dan pemikiran yang tajam tetapi karena pertolongan dari Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang sangat memikirkan kaumnya. Sampai akhir hayatnya pun beliau masih berseru,”umatku, umatku, umatku,” atau kekhawatiran beliau,”Sesungguhnya fitnah terbesar sepeninggalku adalah fitnah wanita.” Namun kita tidak boleh lupa bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan tentang solusi atas semua permasalahan itu.

“Telah kutinggalkan untuk kalian 2 perkara yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh padanya. Kitabullahi dan sunnahku.”
“Siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian pada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin[8] yang telah mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu”

Dan di atas itu semua, Allah berfirman:

“Dan karena atas nikmat Tuhanmu lah engkau berlaku lemah lembut. Sekiranya engkau berlaku kasar… maka pastilah mereka akan lari darimu.”

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemengan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan maohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nasr: 1-3)

Jadi, keberhasilan memang butuh berpikir keras dan merenung, tapi diatas itu semua adalah bimbingan dari wahyu Allah.

“Wahyu akan segera turun. Muhammad SAW sudah mencapai tahap untuk memulai revolusi. Turunnya wahyu berarti saatnya memulai revolusi.”

Turunnya wahyu bukanlah pertanda revolusi dimulai. Melainkan pertanda pendidikan umat akan dimulai. Tegaknya Islam di permukaan bumi bukanlah dengan jalan revolusi. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak pernah menempuh jalan revolusi untuk menggulingkan kegelapan rezim Quraisy yang berkuasa saat itu. Beliau memulai dengan pendidikan dienul Islam yang haq.

Islam yang telah merasuk dalam hati-hati yang selama ini kering, hari demi hari Islam menyebar, semakin banyak yang tunduk pada ajaran wahyu Allah. Orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Tanpa paksaan. Tanpa ada revolusi. Sebagaimana kita ketahui, revolusi adalah perubahan secara mendadak atau tiba-tiba dengan menggulingkan rezim yang sedang berkuasa. Itulah makna umum revolusi. Dan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak pernah melakukan itu.

Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam pernah ditawari menjadi petinggi suku Quraisy atau pentinggi Mekah. Kekuasaan di depan mata. Beliau dapat bebas menyampaikan risalah ini melalui kewenangannya. Namun beliau tidak memilih itu. Beliau tidak memilih jalan revolusi. Melainkan melalu pendidikan ruhani yang berkesinambungan. Mendidik para sahabat mulai dari penguatan tauhid, penguatan ibadah, akhlak, dan yang lainnya. Banyaknya masyarakat yang memeluk Islam akhirnya membutuhkan perangkat yang kompleks untuk mengaturnya. Jadilah Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam sebagai pemimpin kaum Muslimin dan memang dari awal selalu begitu. Kebutuhan akan haji membuat kaum Muslimin membebaskan Ka’bah. Yang dikenal dengan peristiwa Fathul Makkah atau pembukaan/pembebasan kota Mekah. Berhala-berhala disingkirkan. Kaum Muslimin dapat bebas beribadah tanpa gangguan apapun.

Bersamaan kebutuhan akan syiar-syiar Islam, sebagai konsekuensi syahadat, kaum Muslmin diwajibkan berdakwah. Mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.

Setelah Jazirah Arab menjadi wilayah Muslim dengan masuknya suku-suku Arab ke dalam Islam, misi selanjutnya adalah berdakwah ke negeri lain. Salah satu negeri itu di pimpin oleh Heraclius. Kepada penduduk Romawi kaum Muslimin berdakwah namun tentu saja dihalangi oleh otoritas kerajaan. Maka umat Islam perlu menundukkan Romawi sebagaimana Makkah telah ditaklukkan. Hingga Heraclius saat itu bertanya, “apa yang membuat kalian sangat bersemangat memerangi kami?”

“Kami diperintahkan untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia menuju penyembahan kepada Tuhannya manusia”…

Masih ingat Yusya’ bin Nun? Yang beliau pimpin adalah Bani Israil yang mendapatkan pendidikan dari Nabi Musa ‘alahi salam. Dengan ruh Islam itulah, ketakwaan, dan semangat jihad yang tinggi, Baitul Maqdis ditaklukkan.

Demikianlah, jalan perjuangan ini bukanlah jalan revolusi. Niat yang lurus mengeluarkan manusia dari kegelapan tidak ditempuh kecuali dengan jalan yang telah ditempuh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Imam Malik rahimahullah berkata,”umat ini tidak akan baik hingga ia mengikuti apa yang telah menjadikan umat sebelumnya baik”

Adalah niat baik membimbing manusia pada kebenaran, tetapi tujuan tidaklah menghalalkan cara. Kalau caranya memang tidak ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam maka tidak layak diikuti.

Namun jika yang dimaksud revolusi oleh penulis buku itu adalah ‘langkah setahap demi setahap’, maka benarlah, dengan wahyu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendidik umatnya sedikit demi sedikit. Metode dan muatan pendidikan, serta semua faktor pendukung seperti situasi Arab saat itu, tempat, dan lain-lain, telah dipersiapkan Allah untuk keberhasilan RasulNya. Bukan atas kecerdesan pemikiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Muhammad SAW, Ibn Sina, Ibn Khaldun,Leonardo da Vinci, Newton. Einstein,dan masih banyak lagi adalah terang yang memberi nyala bagi sumbu-sumbu berikutnya untuk menghapus kegelapan.”

Selain Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, tokoh-tokoh yang sebutkan di atas juga menghasilkan nyala terang yang tidak sedikit. Namun sebelum menulis Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Leonardo da Vinci, Newton, dan Einstein, akan lebih bermakna jika ditulis,”Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud radiallahu ‘anhum sebagai ulama di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Atau Abu Hurairah radiallahu ‘anhu yang meriwayatkan hadist dengan jumlah terbanyak dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Juga ada Muadz bin Jabal radiallahu ‘anhu, orang yang faqih, (paling paham ilmu fiqh) dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.

Atau para ulama dan pendahulu Islam yang mengikuti jalan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dari kalangan tabiin. Seperti Fudhail bin Iyadh dan yang lainnya. Itu jika memang ingin menghapus kegelapan dengan petunjuk Rasulullah.

Kesimpulan

Pemikiran penting untuk menyibak hikmah, namun jika tidak dilandasi keimanan pada wahyu Allah maka ia akan menyimpang. Makhluk itu jika tidak tunduk pada penciptanya maka kehancuran adalah akhir baginya. Sekalipun maksudnya menuju terang, keluar dari gelap.

Menghapus kegelapan adalah niat mulia. Kegelapan itu tidak akan hilang hanya dengan pemikiran yang tidak dibimbing wahyu yang shahih dari Allah yaitu Al-Qur’an. Selain itu, juga dibutuhkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sebagai petunjuk teknis Al-Qur’an dan hal lain yang tidak dimuat dalam Al-Qur’an. Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah contoh hidup yang menjadi rahmat bagi kita dengan kemudahan meneladaninya. Dan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan sunnah tidaklah tepat kecuali sesuai dengan cara tiga generasi terbaik memahaminya. Maka slogan kita, “Berpedoman pada Al-Qur’an dan sunnah sesuai pemahaman As-salaf Ash-shaleh[9].”Wallahu a’lam bi shawab [ ]
26 Jumadil Ula 1433
Mesjid Al-Mubaraqah



[1] Bukti-bukti kekeliruan teori darwin dapat dilihat dalam karya-karya Harun Yahya. Atau kunjungiwww.harunyahya.com. Petaka teori Darwin benar-benar tampak nyata ketika diterapkan dalam bentuk Darwinisme Sosial.
[2] Misalnya kisah Galileo Galilei yang dihukum gereja karena pendapatnya tentang bumi yang mengelilingi matahari bertentangan dengan gereja yang mengklaim bumi yang dikelilingi matahari.
[3] Penyiksaan kejam
[4] “Sebaik-baik manusia adalah yang sezaman denganku (para sahabat), kemudain setelah itu, kemudian setelah itu. (HR). Inilah tiga generasi terbaik. Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan sunnah tidak benar kecuali sesuai pemahaman tiga generasi terbaik.
[5] Makanan manis sebagai madu
[6] Burung sebangsa puyuh
[7] Melihat dengan mata kepala
[8] Empat Khalifah pertama sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakar Ash-shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Secara umum, semua sahabat nabi adalah panutan dengan segala kelebihan mereka.
[9] Generasi islam terdahulu yang saleh. Tiga generasi manusia terbaik. Dalil yang menunjukkan hal ini antara lain QS.3:110 (Kalian adalah umat terbaik) dan hadist yang terkenal Khairunnasi Qarni…
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Formis Official Site 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all