Featured Post 2

Marhaban. Selamat datang di forum anak-anak Selayar di perantauan. Forum Muslim Ilmiah Selayar (FORMIS)

Agen Perubahan dan Kreteknya

KAMI teringat masa-masa mahasiswa baru dulu. Dengan kepala botak dan wajah tertunduk, kami berbaris rapi. Sesekali senior membentak. Konon katanya bentakan demi bentakan sengaja dihunjamkan pada kami untuk membina mental kami. Agar tidak ada lagi mahasiswa pengecut. Agar kami tegar menghadapi tantangan dan rintangan kehidupan.
Agar kami tahu bahwa hidup ini keras. Sehingga kami harus fight. Pantang menyerah dalam kondisi apapun. Selama kami ada di pihak yang benar. Sungguh sebuah motivasi penuh semangat. Terlepas dari metodenya
yang tentu tidak tepat. Di samping itu, dengan bentakan itu ‘katanya’ kami dididik untuk tegar terhadap segala sesuatu. Tidak ‘cengeng’. Senior-senior berlalu-lalang di depan kami, kiri kanan, dan belakang kami. Lengkap dengan celaan yang tak pantas dituliskan di sini. Semua itu dilakukan dengan alasan pembinaan mental, menumbuhkan semangat pertarungan atas kebatilan, dan jiwa yang tetap kuat meski banyak cercaan dan hinaan. Satu lagi yang unik, katanya untuk membina persaudaraan dan solidaritas yang kokoh antar sesama maba. Dan lelucon ini diperparah dengan guyonan baru “agar lebih dekat dengan senior”


Berbaris rapi dengan jurusan masing-masing, dikomando sang Korlap[1], kami tertunduk pasrah menerima arahan-arahan dari panitia pengkaderan. Kami tidak tahu seperti apa nasib kami 30 menit ke depan. Semua serba tidak pasti. Jika diperintah duduk, kami duduk. Diperintah berdiri, kami berdiri. Seorang teman kami diperintah ke depan untuk memimpin lagu fakultas dan jurusan. Kami bernyanyi sesuai arahan sang pemandu. Kami tidak boleh tertawa. Bahkan tersenyum sekali pun. Jika ada yang melanggar karena senyumannya, senior akan langsung menunjuknya dan menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan yang menekan mental. Sungguh pemandangan yang memprihatinkan. Padahal jika ingin berteriak memberontak, sesungguhnya kami mampu. Namun ada doktrin yang wajib kami imani. Yang membuat kami tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan protes sekalipun
Senior kami senantiasa mengatakan bahwa kami ini belum keluarga mahasiswa fakultas. Kami harus melalui semua tahapan pengkaderan. Jika tidak, maka kami tidak diakui keluarga dan akan dikucilkan. Tidak dibantu dalam perkuliahan. Tidak mendapat bimbingan dan sedikit teman. Menyedihkan memang membayangkan semua itu. Maka tidak ada pilihan lain. Ikut pengkaderan dan patuhi senior. Diam seribu bahasa. Anda cukup dengar dan lakukan. Tidak ada komentar. Apa lagi melawan.
Kami wajib berpakaian rapi. Tidak boleh celana botol. Harus memakai baju berkerah dan celana kain. Pada hari tertentu kami harus berpakaian putih dan celana serta sepatu hitam. Harus datang tepat waktu. Sedikit saja terlambat, anda akan kena hukuman yang memalukan. Rasanya lebih baik tidak datang dari pada datang terlambat. Kaidah, lebih baik terlambat dari pada tidak datang sama sekali, tidak berlaku di tempat kami. Malangnya, ibarat makan buah simalakama, terlambat datang dipermalukan, tidak datang lebih dipermalukan. Hampir setiap hari ada pengumpulan[2]. Menyita tenaga dan waktu.
Sampai di sini, kami telah sangat memahami bahwa senior-senior kami menginginkan kami disiplin. Ditambah lagi wejangan lebih menarik yang katanya hanya dengan inilah kami akan menjadi mahasiwa sejati. Ya, mahasiwa sejati. Kemanusiaan, itulah yang senior kami inginkan. Dan kami pikir itu baik. Maka tak ada alasan untuk menolaknya.
Dalam pemahaman kami, sifat kemanusiaan seorang mahasiswa dapat dirumuskan dalam tiga fungsi mahasiswa. Ini juga telah didiktekan oleh senior:
1.    Mahasiwa sebagai agen perubahan (Agen of change)
2.    Mahasiswa sebagai kekuatan moral (moral force)
3.    Mahasiswa sebagai alat kontrol sosial (social control)
Dengan penuh hikmat kami mendengarkan ceramah senior tentang ketiga peran mahasiswa di atas. Kami baru tahu, ternyata menjadi mahasiswa sangat mulia. Kami adalah agen perubahan yang mengubah bangsa ini menjadi lebih baik. Sebagai moral force, kami dapat menjaga ditegakkan moral dalam setiap gerak-gerik kami. dan social control, menuntut kami dapat mengontrol situasi sekitar kami untuk tetap dalam kondisi baik, tidak terjadi konflik, mendudukkan masalah pada tempatnya dengan penyelesaian bijakasana dari mahasiswa.
Kami baru tahu bahwa mahasiwa ternyata mengemban tugas agung. Senior kami senantiasa menekankan pentingnya kepedulian terhadap sesama. Kami berdiskusi tentang negara ini. Tentang korupsi yang merajalela. Tentang kebijakan yang tidak memihak rakyat. Kami berbicara tentang rekontruksi sosial. Mengubah dari yang buruk menjadi baik. Dalam benak kami, karena kekayaan alam sangat melimpah, maka tidak boleh ada lagi pengemis dan anak-anak jalanan. Semua pengemis sudah harus dipelihara oleh negara. Begitupun anak terlantar. Mereka harus mendapat pendidikan yang layak demi kelangsungan masa depan mereka. Kami sangat menentang semua bentuk undang-undang yang tidak memihak rakyat kecil. Undang-undang yang hanya menguntungkan para pemodal. Terutama pemodal asing. Kami mengkritik hampir semua sisi pemerintahan rezim yang berkuasa. Pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan yang lainnya.
Melihat diskusi-diskusi yang dipupuk di kampus kami, tidak ada keyakinan lain yang muncul dalam benak kami selain pentingnya kita bergerak. Bergerak maju dan melakukan perubahan. Memahami kondisi bangsa dan mencarikan jalan keluar. Mengkritik pemerintah atas semua bentuk kezaliman yang dilakukan pada rakyatnya. Mulia. Sungguh mulia. Ya, namun tidak ketika asap itu menyiksa kami.
Suatu sore, dalam sebuah ruang kuliah, kami duduk tenang mendengarkan sang pemateri bercerita tentangbrainstorming. Salah satu materi pengkaderan. Sesungguhnya materi itu bagus. Melatih kami mencari pemecahan atas semua masalah yang menimpa kami. menyelesaikannya dengan unik. Dengan kepala dingin dan melibatkan lebih banyak orang. Sehingga, dalam penyelesaian dapat memuaskan. Hasilnya, apapun yang terjadi, semua akan merasa memiliki. Sebab solusi dirumuskan bersama.
Hanya saja, kami tidak dapat menerima materi dengan baik. Asap rokok seolah memenuhi ruangan itu. Ruangan yang sempit. Langit-langit yang tidak lebih dari 3 meter dan semua jendela tertutup karena ruangan itu ber-AC. Cukup satu orang yang merokok sudah dapat membuat kami semua seolah perokok. Kami merasakan bibir-bibir kami semakin lama semakin pahit. Tenggorokan kami terasa dipenuhi asap. Dada kami tertekan. Perempuan-perempuan menutup mulut dan hidung mereka dengan kain seadanya. Tidak cukup sampai disini, baju kami pun terasa pahit. Bagi sebagian besar perokok, ini tentu bukan masalah. Namun ruangan ini tidak dipenuhi perokok. Di sana ada wanita-wanita yang sensitif. Ada yang tidak dapat menghirup udara rokok.
Salah seorang diantara kami mengingatkan mereka untuk mematikan rokoknya. Namun tidak dihiraukan. Seolah ia mengatakan,”tunggu sampai habis”. Ya, sampai kami semua habis. Tidak tahan dengan situasi seperti itu, kami memutuskan keluar ruangan.
Kami menerawang, mengingat-ingat kembali materi pengkaderan yang selama ini dijejalkan ke kepala kami. kemanusiaan. Kemanusiaan. Dan kemanusiaan. Mahasiswa sebagai agen perubahan, mahasiswa sebagai moral force, mahasiswa sebagai alat kontrol sosial. Kami merenung, dimana nilai ini semua?
Dalam slide ppt yang ditayangkan pada kami, dengan tegas di sana tertulis, “dilarang merokok bagi peserta”. Lalu bagaimana dengan panitia? Bagaimana dengan pemateri? Apakah mereka boleh merokok? Lalu dimana nilai-nilai kemanusiaan itu? Dimana agen perubahan itu? Mengubah kami menjadi perokok?
Kami sangat tercengang ketika peraturan dilarang merokok hanya diperuntukkan bagi peserta. Ini tentu tidak adil. Salah satu sebab dilarangnya merokok adalah demi kefektifan jalannya forum. Salah satunya tentu dengan udara bersih yang tidak mengganggu pernapasan yang berujung pada tidak efektifnya forum. Materi hanya berlalu begitu saja dan rasa jengkel muncul dalam hati kami. Kami menutup hidung kami tanda tak suka. Lalu dimana moral itu? Dimana nilai kemanusiaan itu?
Kami melihat mereka berbicara tentang moral force dan agen perubahan sementara disaat bersamaan mereka juga melanggar nilai moral kami yang sesungguhnya mereka tahu. Lalu bagaimana kita dapat merubah. Bagaimana kita dapat memberi solusi bagi kemiskinan bangsa ini? Kita mengkritisi pemerintah yang senantiasa melindungi para pemodal. Namun kita secara terus-menerus melilndungi kebiasaan merokok kita. Mengganggu orang-orang sekitar. Kita berteriak lantang membela hak-hak rakyat jelata, tetapi kita lupa menunaikan hak orang di dekat kita. Kita tahu mereka bukan perokok karena memang tak suka rokok. Jika hal-hal kecil seperti ini tidak dapat kita tunaikan, lalu bagaimana mahasiswa menjadi agen perubah?[]
FIS II, Ahad, 8 Muharram 1433


[1] Kordinator lapangan. Satu orang yang ditunjuk khusus memandu jalannya proses pengkaderan di lapangan.
[2] Mahasiswa baru dikumpulkan untuk mendengar arahan-arahan senior seputar pengkaderan.

Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Formis Official Site 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all